siapa saya yang menilai atau menghakimi seseorang?
Kalimat di atas sering sekali kita dengar. Barangkali pun sering kita ucapkan.
Ketulusan adalah sesuatu yang seharusnya juga kita masukkan dalam kalimat di atas.
sehingga secara implisit kalimatnya menjadi:
siapa saya yang bisa menilai ketulusan seseorang, atau menghakimi tulus tidaknya seseorang?
Seperti juga keikhlasan, ketulusan (yang saya anggap part dari ikhlas) adalah sesuatu yang tidak memiliki alat ukur yang jelas.
lalu apa indikator seseorang tidak tulus? apa indikator seseorang tulus? adakah tips-tips mengenali bentuk ketulusan or ketidaktulusan ini?
Saya tidak tahu jawabannya. Saya lebih khawatir pada kesalahan saya mengenali bentuk ketulusan, dibandingkan mengkhawatirkan ketulusan orang-orang yang memasang wajah tulus di hadapan saya.
Kenapa?
Sebab apakah mereka tulus atau tidak, sama sekali bukan urusan saya.
Jika mereka tidak tulus, maka itu tidak akan merugikan saya… tidak membuat saya menjadi orang yang lebih besar atau menjadi orang yang lebih kecil.
Sebab kita sendiri yang menentukan, akan jadi manusia yang lebih besarkah kita, atau sebaliknya. Bukan orang lain.
Katakanlah seseorang memberi pujian untuk kita.
“Wah, mbak cantik sekali. Lebih cantik dari yang saya dengar…”
Ah, apa artinya mereka tulus ketika memuji atau tidak?
Sebab toh jika mereka tulus, pujian tersebut tidak membuat kita bertambah cantik.
Adapun jika mereka hanya mencari bahan obrolan, atau berusaha lebih dekat, atau mengambil hati kita dengan kalimat itu, saya kira ini kreativitas seseorang yang tidak menyakitkan.
“Dia Cuma pura-pura manis depan saya, padahal maksudnya…”
“Dia
Bahwa manusia berusaha lebih kreatif, berusaha melancarkan bisnis, berusaha untuk kehidupannya, apakah itu menjadikan mereka manusia yang tidak baik? Tidakkah kita pun akan menjaga sikap kita, bahkan pada orang yang tidak kita sukai, namun punya pengaruh? Sebab ini adalah upaya survive dalam kehidupan, tahu bagaimana beradaptasi. Tentu kita juga tahu bagaimana mencapai itu tanpa terjebak menjadi munafik.
siapa saya yang menilai atau menghakimi seseorang?
Apakah ketulusan harus sesuai dengan apa yang KITA inginkan? Sesuai dengan definisi dan batasan-batasan KITA tentukan? Sehingga jika ada yang melakukan sesuatu di luar rambu-rambu yang KITA tetapkan, kita anggap tidak tulus?
”Kalau tulus dia nggak mungkin begitu…”
Lalu di mana kita meletakkan poin, menghormati sebuah perbedaan? Bahwa ada orang lain yang memang berbeda, bahasa, budaya, agama…
Sebab memang terlalu rumit untuk kacamata manusia.
Allah, betapa terbatasnya mata kita, betapa luasnya pandanganMU.
“Kelihatannya orangnya pendiam, ya… ternyata kok rame.”
Tapi jadikan ketidaktulusan yang kamu temui, apakah asumsi atau kemudian terbukti, di mana saja… kapan saja… siapapun yang melakukannya, sebagai pelajaran dan bekal, untuk menjadi lebih tulus dari kemarin.
Saya yang harus tulus. Bukan orang lain.
Saya yang tidak boleh tidak tulus, bukan orang lain.
---Asma Nadia
No comments:
Post a Comment