Tuesday, September 8, 2009

Menjadi Umar Bin Khattab Jadiid di Ramadhan Ini

Jalan- jalan di bulan Ramadhan memang terasa beda, ada sesuatu yang diharapkan daripada sekedar letih melangkahkan kaki di sepanjang jalan ( tanpa kenangan ).
Mungkin bagi sebagian orang bisa disebut ngabuburit, capek memang tapi seolah tak jadi keputus asaan untuk terus melangkah sambil menunggu waktu adzan magrib tiba sebagai tanda shaumnya berakhir hari itu.
Tapi ada pula yang memanfaatkan waktu seharian itu untuk melakukan berbagai aktivitas yang bernilai positive atau bernilai pahala dalam istilah agama Islam. Seperti mengadakan sanlat, wisata Ramadhan ke mesjid- mesjid dan mengikuti serangkaian pengajain di dalamnya. Bahkan menyaksikan konser musik band yang marak menyanyikan syair Islam ( lagu religi ) dianggap ibadah juga oleh sebagian orang yang mungkin mereka mah kurang kerjaan aja dirumah ( he..), daripada bengong dirumah lebih baik nonton konser islami di berbagai daerah atau serambi mesjid.....kan lumayan dapat pahala juga mendengar lagu Islami ( cenahh...). - Saya sarankan lebih baik membaca qur'an atau buku- buku syariat Islam dech atau paling tidak mendengar murattal al-qur'an - ( yah aku juga berusaha menjalankan niat itu ).
Saya tidak jauh beda dengan lainnya, ingin menikmati hari tanpa rasa jenuh karena memikirkan sedang puasa. Dengan ditemani salah seorang kawan saya mencoba jalan- jalan mengitari pusat keramaian kota Bandung ( sekalian nyari sandal buat ganti yang sudah rusak ). Capek seh iya, berpanas- panas ria di tengah hiruk pikuk manusia-manusia yang antusias berburu berbagai kebutuhan tersier dengan harga diskon. Penat, begitulah rasanya otak ini tatkala mulai memasuki kawasan belanja elit itu. Saya hampir mau keluar lagi kalau tidak ingat saya harus membeli sandal " special " itu yang sebetulnya tidak pernah saya butuhkan andai saja punya saya tidak rusak! Huffhh......malas shopping!

Singkat cerita saya lepaslah sudah itu mall dengan melangkahkan kaki tergesa- gesa menuju pintu keluar utama. Legaaa.....
Saya lanjutkan "perjalanan" hari ini menuju sebuah mesjid buat istirahat, karena di tempat bernama mesjid itulah saya merasa sejuk melepaskan rasa lelah disana.
Diserambi mesjid tampak seorang ibu sedang berusaha menghentikan tangisan anaknya yang masih kecil, kira- kira usianya sekitar 7 tahun seumuran dengan keponakan dirumah. Sekilas saya melihatnya membuat ingatan pada ibu kembali hadir......jadi ingin pulang kerumah secepatnya!
Saya sudah hampir memejamkan mata ( kebiasaan kalau lelah suka tiduran sebentar sebelum sholat atau pergi lagi ), namun tangisan anak itu tak mau berhenti bahkan sangat mengganggu niat saya merasakan ketenangan dan kesejukan hari ini. Karena anak itu trus- terusan menangis akhrinya saya dan teman saya ( hee lupa dia gak kebawa ) menghampiri ibu dan anak itu seraya bertanya " Ibu, kunaon putrana nangis? " tanyaku.
" Ieu neng, hoyong jajan es...." jawabnya
" Ohh...kapanasan panginten bu? henteu saum kitu?" tanyaku kemudian, temanku disebelah memandangku terus menimpali, " Teu kuat meureunan..."
" Heunteu neng, da ibu mah saur oge mung ku cai wungkul, ieu budak teh can tuang di enjing- enjing. Ti kamari ibu tos milarian kaditu kadieu dijalan tapi can kengeng wae artosna "
Mendengar penuturan ibu itu, aku tiba- tiba merasa iba, sedih bercampur kasian padanya. Terbayang kembali saat ibu juga pernah mengeluh hal yang hampir sama ketika menjelang puasa beberapa waktu lalu ibu merasa cemas karena tidak punya uang simpanan, belum lagi kondisi ayah yang harus bolak balik ke rumah sakit untuk periksa dan menebus obat ( eh kok jadi curhat?! )

Akhirnya setelah ngobrol panjang tanpa lebar dengan ibu itu aku dan temanku patungan memberinya sedikit kebehagian. Kami tidak memberinya banyak uang tapi dengan sembako yang sempat kami beli untuk sahur dan buka ( mie instan, biskuit, susu, air minum dan cemilan lain ) sedang temanku menambah dengan sejumlah uang yang mungkin cukup untuk membeli tajil saja. Krena kami memang bukan pegawai yang gajinya besar, itu juga uang simpanan sebagian. Eh tidak semua sembako juga kami berikan tapi ada beberapa yang dirasa lebih dibutuhkan ibu itu, selanjutnya kami berdua pamit pergi dengan diiringi ucapan terima kasih yang tak henti- hentinya ditujukan kepada kami disertai linangan air mata dan do'a ibu itu untuk kami.
Kebahagiaan itu sangat jelas terlihat dari pancaran sinar mata sang ibu, kami melnajutkan perjalanan sekalian pulang. Ditengah jalan pulang, saya dan teman saya itu jadi "menggosip" tentang si ibu dan anaknya, dalam benakku andai saja ada seorang yang terkenal dan besar namanya yang berkeliling melihat saudara- saudaranya yang tak mampu bahkan untuk sekedar menyambung nyawa saja sangat sulit. Dan orang kaya itu ( soalnya kalau pemimpin sangat sulit diandaikan...jauuuhhh dari realita! ) menyamar dengan berpakain biasa laiknya masyarakat yang kekurangan datang menyambangi orang- orang yang kelaparan dan memberinya bantuan hingga kenyang, seperti yang dilakukan Umar Bin Khattab khalifah yang sangat mencintai rakyatnya. Aahhh....coba saja yang punya pikiran seperti itu tuh mereka- mereka yang berharta dan bertahta banyak dan bukan orang miskin juga seperti aku!
Karena Ramadhan ini seharusnya menjadi berkah dan kebahagiaan buat mereka yang tak mampu bukan saja untuk orang kaya yang akan mendapat THR di hari terakhirr puasa, ini juga Ramadhan mereka, yatim, dhu'afa, orang tak berpunya kecuali sehelai baju dan jasad yang menjadi sarang nyawa.
Ketahuilah adanya zakat juga sepertinya kurang diperhatikan oleh orang- orang mengaku muslim namun sangat berat mengeluarkan zakat. Coba saja mereka semua kompak mengeluarkan zakat tanpa ragu dan tanpa takut berkurang...niscaya Muslim Indonesia adalah manusia- manusia kaya jiwa dan harta serta tali persaudaraan ini takkan tergoyah karena satu sama lain saling membutuhkan.

Ya, jadilah Umar Bin Khattab yang baru......jangan mengandalkan orang lain, ulurkan tangan kita secepatnya........!

Wallohu a'lam

ini bukan ceramah atau berkisah tapi curhatan.......lega dech satu beban di kepala.

No comments: